-teletubies berpelukan-

15 January, 2008

Lorong waktu membentuk jaringannya sendiri. Dinding-dindingnya abu-abu cenderung gelap, kasar, bergerak tak beraturan, bagaikan layar kosong tanpa acara. Kilatan cahaya bergabung menjadi satu, silih berganti menampakkan warna-warna yang cerah menuju satu titik yang tampak jauh diujung. Menyeruak disana satu fragmen kehidupan yang bermula tanpa awal, membuat cerita sendiri tanpa ada muqadimah.

“Maafkan aku sayang, aku hanya bisa bersama mu hingga pertengahan tahun ini”, seorang gadis berkerudung, berkulit putih, hidung bangir, dan bibirnya yang indah telah ucapkan kalimat itu, sambil menyandar di balkon rumah tua bertingkat. Tak bisa digambarkan warna-warni suasana saat itu, karena hanya nuansa abu-abu yang mendominasi.

“Sementara di Desember nanti, aku sudah akan mengikat janji suci dengan pria yang telah melamarku”, si gadis melanjutkan perkataannya.

Pria yang berdiri sampingnya hanya bisa terdiam seribu bahasa, membayangkan hubungannya dengan sang gadis yang telah dijalin sekitar 7 bulan harus berakhir di pertengahan tahun ini. Rasa sayang, cinta kasih, dan pengharapan terbesar yang saat ini sedang berdiri di sampingnya telah ucapkan dengungan yang akan merubah tawa menjadi hampa, bahagia menjadi sendu meraja, dan keagungan tersungkur menjadi hina. Belum, ini belum kiamat, tapi kenapa kalimat sang gadis bagaikan tiupan sangsakala penanda akhir jaman.

“Bukankah aku sudah memberi kepastian kepadamu, bukankah aku sudah siap untuk semua, aku merasa hubungan kita baik-baik saja selama ini, dan…….”, pria itu mencoba untuk bicara, meski yang keluar hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat menyangkal pernyataan sang gadis.

“Karena aku sudah memilih dia untuk memilikiku, daripada kamu sayang… Maaf..”. Datar saja gadis itu menjawab, tak ada emosi sedikitpun di jawabannya.

Semakin getir terlihat si pria, hanya bisa menatap kosong sosok didepannya itu. Kalimat pendek itu sudah menjelaskan semua. Memang perkataan sang gadis menyakitinya, tapi yang lebih dalam menusuknya adalah gadis yang telah dikenalnya lebih dari tujuh bulan ini berubah 180 derajat, seakan bukan dia yang sedang berbicara saat ini. Bukanlah gadisnya dahulu, itu yang lebih menyakitkannya. Goresan silet di kulit, ditambah asamnya cuka mungkin lebih disuka sang pria saat ini dibandingkan apa yang baru menimpanya.

Tiba-tiba asap keputihan perlahan menyelimuti fragmen itu, perlahan semakin tebal, menutupi satu demi satu sosok sang gadis yang masih berbicara dan sang pria yang hanya bisa bisu menatap.

Kembali lorong itu membesar meninggalkan alur ujung titik kecil tadi. Kilatan-kilatan cahaya warna-warni tampak lagi, bergabung membentuk sulur yang lebih tebal. Terus melintasi dinding-dinding yang tak jelas berikan gambaran. Semakin meningkat kecepatannya menuju satu permukaan.

***

“Hhhhhhhhhhhhh…”.

Mendadak kutarik nafas panjang, seakan sudah beratus-beratus kilometer aku berlari, sudah 30 menit lebih aku di dalam air, dan lebih dari dua perbukitan aku tempuh menggunakan sepeda, persis seperti seorang atlit Triathlon, olahraga terkejam di dunia. Hanya orang-orang sinting yang urat capai-nya sudah putus, yang ada di dalamnya. Paru-paru yang menciut kini melebar lagi. Degup jantung memburu dengan tetesan keringat di sekujur tubuh. Memang saat ini suhu di Jakarta memuncak tajam, mengalahkan garis demi garis termometer ruangan. Mungkin cuaca sedang rehat bersiap-siap untuk kembali menggempur dengan hujan badainya yang menurut BMG akan meningkat di akhir Januari sampai pertengahan Februari ini. Terdengar sayup-sayup di kamar atas, berita televisi yang meng-update perkembangan terbaru Sang Penguasa Orde Baru. Namun kipas anginku tak kalah seru mengeluarkan suara yang lebih besar dari angin yang dihasilkannya, makan gaji buta.

Kutatap jam duduk digital ku, pukul 11.30 siang. Pantas kamar yang gelap gulita sekarang sedikit remang-remang dengan sinar matahari yang memaksa masuk lewat jendela kawat nyamuk kamarku. Bau hari libur ada di siang ini. Ah ya, ini kenapa aku bisa terbangun sesiang ini.

Tapi kenapa jantung ini tak berhenti kecang degup-an nya, kenapa perasaan ini masih tak tenang, ada sesuatu yang mengganjal kerutan otakku. Ini bukan persoalan logika kurasa, tapi lebih ke persoalan hati. Kuingat-ingat lagi sambil masih melengkungkan posisi tidurku, persis seperti udang yang terkena minyak panas.

Mimpi!!!!

Ya, mimpi itu yang membuat nafas ini terengah-engah, yang membuat jantung ini tak pada ritmenya, gak on beat istilah para penyiar apabila ketukan bicara tak sesuai dengan ketukan backsound. Pantas aku ingin cepat-cepat terbangun **uda jam sebelas juga kalee jaaa!!!**. Rasa sakit dalam dadaku masih terasa, sedikit air mata ada di ujung mataku, bukan, bukan kotoran mata ya, tapi air mata.

Mimpi itu terasa begitu nyata hingga tak mampu bedakan kalau aku sekarang sudah berada di kenyataan. Aku lah sang pria dalam mimpi itu dan sang gadis adalah…, pikiranku berhenti sejenak. Oh tidak, bukan, bukan dia sang kekasih hatiku, jangan bilang ini sebuah kenyataan yang harus kuhadapi. Lebih baik aku masuk ke dalam mimpi itu dan menginterupsi sutradara mimpi untuk berteriak “Cuuuuuutttt”. Jika tidak, akan kuobrak-abrik setting tempat beserta segala macam peralatan syuting mimpi itu, dan kuganti dengan adegan Teletubies sedang berpelukan.

Soalnya bukan begiu skenario dalam alam nyata. Skenario yang benar adalah aku sudah memberikan kepastian kepadanya lebih cepat dari pria manapun. Hanya bermodalkan celana pendek dan kaos oblong aku sudah melamarnya tanggal 24 Desember 2007 kemarin di depan ibundanya tercinta. Sendirian! Yah itu salah satu bab dalam mata pelajaran How To Be a Gentleman oleh Bapak-ku.

“Jangan pernah berani ngawinin anak orang, kalau tidak berani meminta sendiri ke orang tuanya”,

Ucapnya dulu dengan kopiah dan sarungnya yang khas sambil membakar Gudang Garam Merah dan menyeruput kopi – kebiasaan yang sudah ditinggalkannya – disamping pelajaran-pelajaran menjadi “Pria Sejati Memperlakukan Wanita” lainnnya. Yah sendirian aku meminta anaknya untuk jadi pendamping hidupku, diterima!! Kurasa akan menambah panjang paragraf ini kalau kugambarkan perasaanku saat itu. Yang setelah itu berselang 2 minggu, tepatnya tanggal 07 Januari 2007, bapak membuktikan pelajarannya dengan datang sendiri tanpa ibuku, dadakan tanpa persiapan dan tanpa ada seorangpun yang tahu, berangkat menuju Lampung, meminta secara formal anak gadis sang ibu untuk dinikahkan dengan bujang bengalnya yang mungkin belum cukup formal melamar anak orang. Melengkapi pelajarannya waktu aku bolos dulu,

“Lamarlah anak orang dengan berpakaian rapi”.

***

Nah, skenario itu yang seharusnya benar. Masih tak percaya, dalam keaadaan setengah sadar dan mata berkunang-kunang, mataku meraih-raih handphone. Speed dial no 4, langsung tersambung suara di ujung sana yang menenangkanku dan memastikan dirinya hanya milikku seorang. Ah norak ! Cengeng ! Tapi majulah hai para pria yang mengaku paling jantan sedunia, mana diantara kalian yang masih sanggup tegak berdiri dihadapkan kenyataan kehilangan gadis yang sudah kau lamar, kalau tidak otot-ototmu yang kau latih sedemikian rupa akan mengendur bersama aura ke-macho-an mu. Alhamdulillah Ya Rabb, Kau memberi balasan setimpal –di dunia, entah di akhirat nanti- atas terlewatnya aku memberi sesembahan di kala Shubuh.

***

Aku memang bercita-cita dari kecil untuk menikah muda. Sebuah keputusan yang dianggap aneh di jaman gendheng, apalagi untukku yang hidup di kota serba gendheng, dimana busway dibuat untuk memacetkan jalan, dimana banjir dianggap sebuah siklus biasa yang akan dialami setiap 5 tahun sekali tanpa ada pencegahan yang berarti, dimana anak mudanya mengaku dare to be different tapi tetap berdandan hampir sama dengan poni nggemesin dan celana pensil, dimana semboyan individualis “Loe, elo, gw, gw” dipegang teguh, dimana dimana-mana terjadi ke-gendheng-an, termasuk aku yang menjadi sedikit gendheng untuk berterima kasih pada kota yang telah memberiku penghasilan yang luar biasa lebih dari cukup untuk makan ini. “Tapi ini Jakarta bung”. Yah, belalah dirimu kali ini.

Tak sedikit yang kembali mempertanyakan alasanku untuk menikah muda.

“Umurmu masih muda, ga nunggu uda mapan dulu, sayang lho karier mu nanti”

“Sob, bakal banyak club baru yang akan buka, yakin mau nikah?”

“Ga bisa lirik-lirik cewe lagi dong”

“Cobalah dipikir-pikir lagi, mikir biaya berdua, belum lagi nanti kalo uda anak, pembantu yang makin lama makin menggoda **sayang, please jangan karena tulisan ini kamu lebih memilih Somad dari pada Inem untuk bantu-bantu kita nanti**

“Ja, Sex sebelum menikah itu bagaikan Vodca Cola, haram bersoda dan memabukkan. Setelah menikah bagaikan Cola dingin yang baru keluar dari Kulkas. halal dan sodanya menggelitik. Beberapa tahun setelah menikah itu bagaikan Cola dalam gelas dan lama tak diminum, sodanya hilang, hanya tinggal rasa colanya. Loe yakin ja?? “

Memang aku bangga disebut anak yang modern, tapi teman, aku dengan lebih bangga mendeklarasikan bahwa aku masih konservatif menjunjung nilai-nilai kehidupan lama dari para empu jaman dulu, termasuk tentang menikah.

Akan kujawab dahulu satu persatu pertanyaan diatas.:

  • Karier dan keuangan? Teman, mau sampai dimana karier dan uang akan kau kejar tak akan pernah cukup untukmu. Selama itu cukup untuk kalian berdua **dan deposito cukup untuk tujuh turunan** tunggu apalagi. Kasihan air laut menjadi kambing hitamnya untuk peng-ibaratan dua hal –tahta dan harta- ini, bagai meminum air laut. Selain itu aku ingin istriku ikut merasakan bersama susahnya membangun materi kerajaan kecil ini, jangan mau enaknya saja. Kecuali kalau gadismu seorang anak tunggal dari seorang ayah pengusaha terkaya di dunia yang sakit-sakitan, dan nanti dengan cepat harta warisannya hanya akan jatuh ke tanganmu, hahaha **tertawa picik**.
  • Club? Kurasa sebentar lagi tak akan kuat tubuh ini ber-ajojing ditengah dentuman beat progressive dan kepulan asap rokok, yang kurasa akan menimbulkan petir jika tercampur dengan asap efek gunsmoke diskotik, persis seperti awan hitam yang beradu dengan awan putih.
  • Lirik-lirik cewe? Ah, sepengetahuan dan izin kekasihku aku masih bisa lirik-lirik cewek bahkan menggodanya **saat aku melirik kekasihku melotot maksudnya**.
  • Pembantu? Kalaupun harus wanita masih ada Bik Ijah, manula yang aku yakin tak tega aku untuk menggodanya.
  • Sex? Oo, come on. Menikah bukan hanya untuk Sex man. Masih banyak hal lain di dalamnya. Pertegas dulu menikah untuk ibadah. Kalau hanya menuruti cinta monyet dan nafsu monyet menikah hanya akan seumur monyet. Habis manis monyet dibuang. Selain itu masih ada anak, yang akan membuat sisa rasa Cola tadi bagai ditambahkan jeruk lemon dan es batu, tetap segar kan.

Aku yakin komentar selanjutnya adalah,

“Belom ngerasain sie, sekarang aja ngomong gitu, coba aja ntar kalau uda menikah, nyesel dah”

Hihihi. Kalau ini aku tidak bisa membantah, karena aku bukan cenayang yang bisa tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Perduli monyet, eh perduli setan. Niat baik butuh action jangan berpikir terlalu lama, sahabatku Ustadz Kun Fayakun berpesan itu. Dan aku yakin inilah salah satu niat baikku. Berkati aku Ya Rabb.

Sambil riyep-riyep memejamkan mata kembali, – berharap masuk ke mimpi, sesuai cita-citaku tadi, mensabotase Sutradara mimpi, mengganti skenario sang Gadis dan sang Pria dengan Teletubies tertawa riang berpelukan – sayup-sayup terdengar ,

“…jika kau menjadi istriku nanti/
pahami aku/ saat menangis…..//
Saat kau menjadi istriku nanti/
Jangan/ pernah berhenti/ memilikiku…/
Hingga ujung waktu……”

(Sheila On7 – Hingga Ujung Waktu)
**my guilty pleasure**